Monday, November 21, 2011

Aku (Bukan) Anak Nakal


Aku (Bukan) Anak Nakal


“Blug...”
“Hahahahaha”
Kami semua tertawa keras melihat Bapak guru masuk dalam kursi yang jeblos. Bukan nada bersalah atau membantu, kami justru tertawa kesenangan.
“Diam!”
Raut muka Pak Wi guru matematika kami seraya merah padam. Ekspresi kemarahan bercampur rasa malu tergambar jelas di raut muka beliau. Seketika kami terdiam. Suasana kelas VII A menjadi hening.

Pak Wi terus melampiaskan kekesalannya dengan tutur penuh emosi. Hingga akhirnya punishment dijatuhkan kepada kami, satu kelas.

Kami tidak akan mengulangi lagi, kami mengaku bersalah...
Kalimat yang harus selalu kami lafalkan keras-keras mulai dari ujung lapangan sepakbola hingga lapangan upacara sampai ke kantor dewan guru. Dengan berbaris berjalan dalam formasi satu banjar di tengah lapangan sambil mendongakkan wajah ke atas. Tak boleh memakai topi atau apapun agar kami tak kepanasan. Begitu malu dan tersiksa sebenarnya karena aksi kami ditonton oleh seluruh warga sekolah.

Siang hari di ruang kelas VII A
“Hei.., siapa sih sebenernya yang buat ulah? Jadi kita sekelas kan yang kena getahnya! Ini sudah yang ketiga kalinya keusilan ini berulang. Setelah kemaren rok bu Tere tersangkut paku, Pak Rozi tertempel permen karet dan sekarang? Pak Wi yang jadi korban selanjutnya.. Belum puaskah kalian membuat malu kelas kita?”
Seisi kelas tetap tak bergeming mendengar pertanyaan Arya ketua kelas kami.
“Ttt tt tunggu..... “ suaraku sedikit tersendat.
“Itu semua ulahku...., maafkan aku teman-teman,” aku hanya berani berucap lirih tanpa berani memandang seisi kelas.
“Apa Ndah? Jadi.....“ Mely Rosman sahabat karibku benar-benar keheranan.
“Iya, maafkan aku teman-teman, ini semua salahku. Maaf jika kemarin kalian ikut menjadi korban keusilanku”
***
Seminggu kemudian, semenjak pengakuan terucap dariku, aku mulai banyak kehilangan teman akrab. Lagu sunyi seolah sedang berkawan akrab menemani hari-hariku. Tatapan–tatapan sinis begitu kenyang aku jumpai saat aku melintas ke beberapa lokal kelas. Bahkan saat aku pergi ke kantin. Pelarianku kini hanya satu, Perpustakaan. 

“Indah, kamu dipanggil di ruangan Pak Harlan tuh.”  Arya menemuiku di perpus sembari memberikan sepucuk surat pemanggilan dari kepala sekolah untukku.

Dengan berjalan gontai diliputi rasa takut, ku beranikan diri memenuhi panggilan kepala sekolah. Debaran jantungku melaju dengan sangat kencang bak pelari sprint yang sedang berlaga di arena pertandingan. Pandanganku hanya tertunduk ke bawah, tangan dan kakiku bagai menggenggam sebongkah es. Aku benar-benar ketakutan.

“Tri Lego Indah, Saya sudah mendapat laporan dari Bu Tere, Pak Rozi dan Pak Wi terhadap insiden yang terjadi di kelas VII A. Dan dari pengakuan teman-teman Anda, Anda sudah mengakui bahwa insiden tersebut adalah kesalahan Anda. Bersungguh-sungguhkah Anda menyesali perbuatan tersebut?”

Dengan tegas Bapak Kepala Sekolah memberikan pertanyaan dan pernyataan kepadaku. Kurasakan Pak Harlan memandangku lekat-lekat. Aku tak berani sedikitpun menegakkan wajahku yang sudah diliputi rasa bersalah luar biasa. 

“Sa... Saya, benar-benar merasa bersalah Pak, saya siap mempertanggung jawabkan kesalahan saya.” 

“Baik, Saya menyukai kejujuran Saudara, dan saya tahu Anda bukan siswa yang bodoh. Anda salah satu andalan sekolah ini walaupun anda masih kelas VII. Tapi sekolah ini tidak cukup membutuhkan siswa pandai, tetapi juga butuh siswa pandai dan santun”

Statement akhir Pak Harlan membuatku begitu terhenyak. “Sekolah ini tidak cukup membutuhkan siswa pandai, tetapi juga butuh siswa pandai dan santun” terngiang terus di telingaku.
“Selama tiga hari ke depan, silahkan untuk belajar di rumah.”

Deg...! Kembali aliran darahku terpompa begitu deras. Aku harus siap dengan vonis scorsing yang memang layak aku terima.
***

“Nduk, kok ora budal sekolah? Opo sampeyan sakit1?” ibuku bertanya sembari mendekat ke arahku.
“Iyo Mak, Indah lagi ra kepenak awakke, pengen leren nang omah2 aku menyahut sambil menarik selimut tebalku.
Yowes istirahat nduk, wes gawe surat izin urung? opo mamak pamitke nang sekolahan?3
“Nggak usah mak, buk guru sampun ngerti, genduk nggak enak badan seko wingi nang sekolahan, makane kon balek cepet 4”.
Yowes nduk, turon wae ojo nang endi-endi, engko mamak golekne obat nang puskes5

Untunglah ibuku cukup percaya dengan alasanku. Dan memang benar aku benar-benar sakit. Kepala ku terasa berat dan badanku terasa lemah. Mungkin efek karena aku terlalu kepikiran dengan tingkahku selama ini.

Tubuhku benar-benar drop. Aku divonis terkena hepatitis B. Aku benar-benar harus istirahat total di rumah selama satu bulan. Benar-benar keadaan yang menyiksaku. Selama satu bulan untuk mengurangi kebosanan, ku habiskan hari-hariku dengan membaca buku dan membuat rancangan karya tulis, naskah pidato dan naskah debat. Semua ku lakukan tanpa sepengetahuan ibu. Kalau ibu sampai tahu pasti aku akan dimarahinya habis-habisan.

Agustus 2003
Ku lihat poster berukuran sedang berwarna hijau muda tertempel di mading depan perpustakaan. Segera ku berlari ke sana, sambil membawa block note yang selalu ku bawa di saku rok warna biru tua yang ku kenakan. Ku baca dan ku catat dengan cermat informasi yang tertera di sana. 

***
“Selamat saya ucapkan kepada salah seorang murid kelas VII A, yang nama ini mungkin tidak asing terdengar di telingan warga SMP N 2 Way Seputih..”

“Selamat, kepada Adinda Tri Lego Indah atas prestasinya melaju hingga sepuluh besar Speech English Contest dalam kontest pidato bahasa Inggris MKKS Lampung Tengah di SMP N 5 Terbanggi Besar hari Jum’at lalu. Semoga kalian semua bisa belajar dari kegigihan teman kalian yang belum lama sembuh dari sakit mampu meraih prestasi“

Tepuk tangan riuh rendah membahana di seisi lapangan upacara hari senin itu. Tak terasa air mataku meleleh. Teman–teman yang dahulu mengucilkanku kini kembali merangkulku dan mengucapkan selamat bertubi-tubi kepadaku. 

 Aku benar-benar tidak menyangka pak Harlan memberi apresiasi kepadaku demikian luar biasa.  Kendati perlombaan kemarin aku hanya menjadi sepuluh besar dari seratus lima puluh peserta. Kini, dalam hati aku bertekad untuk bisa kembali mengukir prestasi dalam lomba KIR dua pekan kedepan. Satu harapku, aku mampu mengharumkan nama sekolahku bukan dengan kelakuan burukku tapi dengan prestasi dan kelakuanku yang santun.

Way Seputih, 27 Februari 2007
at 01.07 am

Mengingat masa-masa SMP
Thats My Based True Story ^_^




Footnote:
1Nak, kok tidak berangkat sekolah? Apa kamu sakit?
2Iya bu, Indah sedang tidak enak badan, ingin istirahat di rumah.
3Ya sudah, istirahat Nak, sudah buat surat izin belum? Atau ibu pergi ke sekolahmu untuk meminta izin bahwa kamu sakit
4Tidak perlu Bu, Bu guru sudah tahu kalau Indah sudak tidak enak badan dari kemarin. Makanya Indah pulang cepet.
5Ya sudah Nak, istirahat, jangan kemana-mana, nanti ibu belikan obat di puskesmas

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan jejak setelah berkunjung yaa ...